Cegah Kekerasan di Lingkungan Pendidikan, Kemdiktisaintek RI Ajak Mahasiswa Bentuk Satgas PPK

Dr. Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) RI/ Foto: IST

JAKARTA — Di balik semarak kehidupan akademik kampus, masih banyak kisah kelam yang tak terdengar. Kekerasan, dalam berbagai bentuk—baik kekerasan seksual, perundungan, hingga tindakan intoleransi—masih menghantui ruang-ruang belajar yang seharusnya menjadi tempat aman bagi generasi muda.

“Banyak korban memilih diam. Bukan karena tak ingin bersuara, tapi karena takut. Takut disalahkan, takut diabaikan, takut dicibir,” ujar Dr. Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) RI, dalam keterangan tertulis, Selasa, 15 Juli 2025.

Kekerasan di perguruan tinggi bukanlah hal baru, namun selama ini kerap dianggap sebagai persoalan pribadi, kasuistik, atau bahkan “bumbu” dinamika kehidupan kampus. Padahal, dampaknya bisa sangat dalam—merusak kesehatan mental, menurunkan prestasi akademik, hingga memadamkan mimpi masa depan mahasiswa.

Data dan pengakuan dari berbagai perguruan tinggi menunjukkan bahwa kasus-kasus seperti perundungan dalam bimbingan skripsi, pelecehan seksual di lingkungan organisasi mahasiswa, atau intimidasi atas dasar identitas agama dan gender masih sering terjadi.

“Kita tidak bisa lagi menutup mata. Kampus harus menjadi ruang aman, bukan ladang kekerasan yang diselimuti budaya diam,” tegas Chatarina.

Menyadari bahwa upaya pencegahan tak bisa dilakukan sendiri, Kemdiktisaintek mengajak semua elemen kampus untuk terlibat aktif, membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK), membuat mekanisme pelaporan yang aman, serta membangun budaya saling menghargai.

Dengan aplikasi Crisis Response System (CRS) dan pedoman pencegahan kekerasan menjadi bagian dari langkah besar ini. Namun lebih dari sekadar teknologi, yang dibutuhkan adalah keberpihakan. Keberanian untuk berpihak pada korban, dan ketegasan untuk membongkar sistem yang membiarkan kekerasan tumbuh diam-diam.

Plt. Kepala LLDIKTI Wilayah III, Tri Munanto, menyampaikan bahwa CRS diharapkan mampu memberi rasa keadilan.

“Pelapor bisa tahu sejauh mana laporan mereka ditindaklanjuti. Itu penting untuk memulihkan kepercayaan,” ujarnya.

Namun sistem hanya alat. Nyawa dari semua ini adalah kesadaran kolektif bahwa kampus bukan tempat untuk kekuasaan semu yang melahirkan kekerasan. Kampus harus menjadi rumah yang merangkul, bukan membungkam. Tempat di mana setiap mahasiswa—siapa pun mereka—bisa tumbuh tanpa takut, dan belajar tanpa rasa terancam.

​Data dan pengakuan dari berbagai perguruan tinggi menunjukkan bahwa kasus-kasus seperti perundungan dalam bimbingan skripsi, pelecehan seksual di lingkungan organisasi mahasiswa, atau intimidasi atas dasar identitas agama dan gender masih sering terjadi.

 

 

Voi.id – Latest News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *