
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak ada persoalan konstitusional terkait kedudukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai pemegang otoritas utama (central authority) dalam proses ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA).
Hal itu disampaikan dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 180/PUU-XXII/2024 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Rabu, 30 Juli.
“Dalil para pemohon yang mempersoalkan central authority yang dimiliki oleh Menteri Hukum dalam menangani ekstradisi dan MLA menurut Mahkamah bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan terkait kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” kata Arsul dikutip dari Antara.
Perkara ini diajukan oleh lima jaksa, yakni Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudirdja, Muh. Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswari, serta seorang WNI bernama Donalia Faimau yang pernah diminta menjadi saksi dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.
Mereka mengajukan uji materi atas sejumlah pasal dalam dua undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Inti keberatan para pemohon adalah bahwa otoritas utama dalam proses ekstradisi dan MLA seharusnya berada di tangan Jaksa Agung, bukan Menteri Hukum.
Namun MK menilai, kedua undang-undang tersebut telah mengatur mekanisme secara sistematis, termasuk keterlibatan berbagai institusi seperti pengadilan, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kapolri sebelum Presiden mengambil keputusan atas permintaan ekstradisi.
“Sehingga tidak terdapat tindakan sepihak atau kekuasaan mutlak dari Menteri Hukum dalam melakukan ekstradisi dan MLA,” ujar Arsul.
Bukan Intervensi Penegakan Hukum
Mahkamah menilai posisi Menteri Hukum sebagai otoritas utama bersifat administratif dan tidak mengganggu independensi lembaga penegak hukum.
“Kedudukan Menteri Hukum bukan merupakan bentuk campur tangan terhadap penegakan hukum, melainkan pelaksanaan fungsi administratif dalam domain eksekutif,” ujar Arsul.
Dalam praktiknya, Menteri Hukum bertugas mengoordinasikan, menerima, dan menyampaikan permintaan bantuan hukum antarnegara sebelum keputusan diambil Presiden. Menteri juga tidak memiliki kewenangan menetapkan kesalahan, menyita aset, maupun memutuskan ganti rugi bagi korban.
“Fungsinya sebagai jembatan administratif dalam kerja sama internasional. Penegakan hukum tetap dilakukan lembaga yang berwenang sesuai prosedur hukum acara,” kata Arsul.
Terkait perubahan nomenklatur kementerian dari sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah menilai hal itu tidak menghapus keabsahan kewenangan yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Isu potensi tumpang tindih antara Menteri Hukum dan Jaksa Agung dalam konteks pemulihan aset lintas yurisdiksi juga dinilai bukan isu konstitusional, melainkan persoalan implementasi dan tata kelola antarinstansi.
Mahkamah turut menyoroti pentingnya percepatan proses administrasi dalam penanganan ekstradisi dan MLA, karena berkaitan dengan batas waktu penahanan dalam proses pidana.
“Menteri Hukum sebagai central authority berkewajiban mempercepat proses administrasi sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucap Arsul.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, MK menyatakan permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan memutuskan menolak permohonan tersebut untuk seluruhnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak ada persoalan konstitusional terkait kedudukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai pemegang otoritas utama (central authority) dalam proses ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA).
Voi.id – Latest News